Monday, April 13, 2015

...pagi di satu sepi

Gwen masih menatap layar kecil ponselnya. Sedikit tidak percaya pada pesan yang baru saja dibacanya. Bagaimana mungkin Brian kesepian?



Bukankah Brian sudah terlalu biasa dengan kesendirian. Gwen tahu benar itu. Dalam bayangannya, Brian tak akan merasa kesepian dan sendirian selama masih ada tumpukan buku yang harus ia habiskan. Brian bahkan bisa hidup tanpa makan. Tapi Brian pasti akan mati lemas karena kejang-kejang sebab tak ada halaman buku yang bisa ia kerat kata-katanya. Gwen sering meledeknya, sebagai pemakan kata-kata. “Makan tuh, kata-kata.” “Kasih makan istrimu dengan kata-kata.” “Nanti besarkan anakmu dengan kata-kata.” Brian hanya akan menekuk satu bibirnya, mengernyitkan sudut matanya, dahinya berkerut seperti kaosnya yang kusut, memandang Gwen beberapa detik, seperti sedang berfikir dan lalu terbahak. “Benar juga. Akan kuberi makan anakku kata-kata. Biar dia jadi anak paling bijak sedunia.” Sambil berlalu, Gwen berteriak sebal, “Orang gila!”
Pun demikian, pesan pendek itu membawa Gwen pada keinginan untuk segera memesan tiket pesawat dan lalu pulang. Menemani Brian. Brian menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, bahkan mungkin lebih, untuk membaca di kamar sempitnya. Kamar kostnya ketika kuliah dulu kini jadi seperti gudang buku, berantakan tak terurus. Tak ada penomoran, tak ada kategorisasi, meski tak sebanyak yang kau bayangkan, ruang 4x5 itu benar-benar menyesakkan. Tinggal lebih lama di sana mungkin akan membuat Brian mati kehabisan udara karena bau lembab kertas yang menyiksa. Atau tiba-tiba dia telah berubah menjadi kecoa, seperti Gregor Samsa. Gwen tak pernah betah berlama-lama di sana. Secukupnya saja. Biasanya meminjam buku, atau sekedar mencari Brian jika dia sulit ditemukan. Beruntung sekarang Brian tinggal di rumah kontrakan kecil yang lebih manusiawi. Rumah kecil dengan ruang tamu, dua kamar tidur, kamar mandi, dan dapur kecil, yang semuanya, tentu saja, penuh buku. Kecuali satu kamar yang ia minta untuk dijadikan kamarnya kalau dia pulang nanti. Ya, kau benar, dapur pun penuh buku. Buku tak laku pas bazar entah kapan dan akhirnya berakhir di dapur rumah kontrakan. Menumpuk, bau dan berjamur, berjejer dengan baskom-baskom sisa mie instan yang mulai menghitam. Brian biasanya duduk selonjoran membelakangi jendela besar di kamarnya, membaca, entah apa. Gwen tak pernah mau memperhatikan. Sekali lagi, Gwen tahu, Brian tak akan pernah kesepian. Selama ada selembar dua lembar bacaan di tangan. Seperti Gwen kecil juga tahu, hidupnya akan baik-baik saja, ketika Brian datang membawa sebatang es krim vanila di tangan.
Aih, Bri... padahal kau yang akan selalu ada ketika aku hampir mati karena kesepian. Gwen ingin meneleponnya, tapi terlambat, sebentar lagi Azan Magrib lewat dan Gwen harus segera pergi meninggalkan batu tempatnya duduk sekarang. Batu tempatnya duduk mencari sinyal di pinggir lapangan. Mungkin nanti, Bri...
Sambil jalan, Gwen tersadar. Entah kapan mereka terakhir bertemu dan saling bercerita panjang. Tahun baru lalu... lamanya. Lama sekali. Bulan depan sudah akan tahun baru. Hampir setahun lalu. Brian sibuk dan Gwen kini berada entah di mana. Gwen juga kadang masih tak percaya pada tempatnya kini berada. Menjadi guru dadakan pada sekolah di tengah perkebunan. Sekali Gwen mengirimi Brian surat dengan tulisan tangan, sebuah ucapan selamat lebaran dan sedikit cerita tentang kegiatannya kini dan banyak hal yang muncul di kepalanya ketika itu. Ketika di kota, Gwen selalu lupa untuk berusaha menghubungi kakaknya itu. Hidupnya baik-baik saja, pun pasti hidup Brian. Kalau ada apa-apa dia pasti akan menghubunginya. Seperti halnya Gwen yang pasti akan menghubunginya jika ada sesuatu. Brian membalas suratnya, tapi tak sampai di tangah Gwen, dan malah berakhir dengan kembali ke alamat Brian. Alamat Gwen tidak ditemukan kurier jasa pengiriman barang. Gwen tertawa terbahak sekaligus kesal. Alamatnya tak dapat ditemukan. Lalu Brian mengirimnya ulang dengan email: hal tersederhana yang bisa dia lakukan tapi ia abaikan demi mengalami sensasi tak biasa ketika saling berkirim surat seperti jaman perang. Teknologi termutakhir abad ini yang banyak merubah banyak hal... meski akhirnya Gwen tahu, surat balasannya itu diketik dengan komputer. Sedikit kesal, karena usahanya menulis dengan tangan tak dibalas sepadan. Malah ditertawakan. Karena Brian bilang di surat balasannya bahwa ia bisa membaca emosinya. Brian tahu, Gwen ingin pulang. Tapi tak bisa, karena beban “tanggungjawab” dan lain sebagainya... Gwen menikmati, tapi itu bukan dunianya. Gwen tak bisa berlama-lama pura-pura super bahagia, karena kenyataannya sebaliknya. Gwen bahagia, tapi rasanya tak biasa. Bahagianya berbeda... ada yang kurang. Entah apa.
Barangkali karena sekarang Gwen sedang ingin pulang. Sekedar menemani Brian.

“Bri...” pagi, pagi sekali, menghubungi kakaknya.
“Gwen... kamu kenapa?” Brian menjawab dari sebrang. Suaranya tegas, ada nada khawatir di sana. Tidak biasanya Gwen menghubunginya sepagi ini. Kecuali...
“Bri. Aku nggak apa-apa. Aku sedang di desa. Aku baru bisa telpon kamu sekarang. Bri... Bri... suaraku kedengeran jelas nggak? Bri...?”
“Beneran nggak kenapa-kenapa? Tumben kamu telpon...?”
“Mumpung libur Bri... ini aku lagi lari, ke pinggir hutan yang baru saja ditebangi pohonnya. Di sini ada sinyal. Bri, Bri... suaraku jelas kan?”
“Iya...” Brian menjawab malas.
“Bri...”
“Apa...?”
“Bri, kamu baik-baik aja? Adi sms aku... mama sms aku... “
“Sms apa?”
“Kamu dan Maria, Bri...”
“Iya Gwen...”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Aku nggak apa-apa. Kami nggak apa-apa.”
“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku sendiri Bri?”
“Untuk apa?”
“Mungkin aku bisa menghibur kamu. Hihi...” Gwen menahan tawanya. Brian juga tertawa. Sedikit dipaksakan. Mereka berdua tertawa.
“Bri... kamu sedih?”
“Gwen. Masih pagi...”
“Bri, aku tidak punya banyak waktu untuk nelpon kamu. Jawab aja pertanyaanku. Bri, kamu sedih?”
“Gwen, ya ampun...” Brian membenci adiknya dalam kondisi seperti ini. Masih belum penuh kesadarannya ditelpon sepagi ini, dan Gwen sudah mulai menunjukkan sisi paling egoisnya. Untuk selalu dituruti. Ini sebenarnya jam berapa? Brian melihat jam dinding di sisi kanannya. Astaga, jam lima dua puluh. Dan di ujung sana adiknya sudah berada di pinggir hutan, mencari sinyal, demi menanyakan hal-hal seperti ini... sepagi ini.
“Bri... Bri! Kamu tidur lagi?”
“Hmm...”
“Bri, kamu sedih?”
“Gwen. Kamu mau dengar apa?”
“Adi bilang kamu kesepian.” Brian hampir tersedak menahan tawa mendengar kalimat adiknya. Adi, kawannya, bilang apa...
“Adi bilang apa?”
“Adi bilang kamu kesepian. Kalau bisa aku pulang ke Solo dan menemuimu. Kamu kesepian. Kamu butuh teman...”
Brian tertawa. Kali ini terbahak. Demi tuhan. Dia tidak kesepian. Dan kenapa Gwen...
“Bri, jangan tertawa seperti itu. Aku tahu, pasti berat untukmu. Tujuh tahun, bukan waktu yang singkat. Aku selalu membayangkan kalian menikah. Tahun ini, atau mungkin tahun depan. Bri, aku sedih mendengar kalian berpisah. Aku tidak dapat membayangkan kamu sendiri, tak terurus. ”
“Gwen. Sudah. Iya, kami, aku dan Maria berpisah. Tapi tidak sedramatis itu...”
“Bri... Kamu tidak perlu pura-pura menjadi kuat seperti itu...” Jika harus memilih satu hal yang akan membuat Brian membenci Gwen, adalah sifat sok tahu Gwen yang besar bukan kepalang. Dan Gwen selalu bisa mengatakannya ringan tanpa beban, tanpa dosa. Merasa benar. Selalu merasa benar. Selalu menjadi yang pertama tahu. Tak peduli bagaimana orang lain menerimanya. Tak mau tahu, atau tepatnya, tak ingin tahu, bagaimana orang lain menerimanya. Gwen kadang memang semenyebalkan itu. Terlebih ketika dia mulai bersikap memojokan. Dia akan memaksa. Memaksa mencari pembenaran atas segala rasa tahunya. Rasa tahu yang belum tentu. Meski bisa jadi segala duga, prasangka, juga asumsi Gwen benar. Brian sering dibuat kesal dengan cara Gwen mengatakannya. Raut muka dan pandangan mata Gwen menjadi seperti penyihir yang seketika bisa berubah menjadi burung hantu. Runcing, membunuh. Brian tidak pernah menyukainya. Brian membayangkan muka Gwen yang kini tengah perlahan berubah menjadi penyihir siluman burung hantu itu. karena ini masih pagi, siluman itu baru saja berubah menjadi manusia, setelah semalaman berburu bangkai-bangkai busuk untuk dimakan.
“Bri... halo Bri... Bri, suaraku kedengeran? Halo Bri? Bri, kalau kamu mau cerita, cerita aja Bri. Ceritain ke aku... nggak apa-apa...” Nah, benar, Gwen memang kadang menjadi siluman menyebalkan itu. Gwen sedang mulai memojokkannya. Kali ini, untuk kali ini, untuk rasa kantuknya yang terampas sepagi ini, untuk beberapa menit yang menjadi sangat menyebalkan, Brian tak ingin terpojokkan untuk hal tidak penting seperti ini.
“Gwen. Kalau kamu ingin bertanya kabar abangmu ini bagaimana, akan kujawab. Aku masih ngantuk Gwen. Telponmu ini membangunkanku terlalu pagi. Kalau saja aku tidak ingat ada adikku satu-satunya kini berada di pedalaman Sumatera, dan salah satu kemungkinan alasan dari banyak alasan nomor telponnya menghubungiku sepagi ini adalah karena bisa saja dia telah dicakar beruang tadi malam, aku tidak akan mengangkatnya. Dan sekarang Gwen, kamu sedang memaksaku menjawab apakah aku sedih, terpuruk, menangis? Oke, aku jawab. Iya, iya aku sedih aku berpisah dengan Maria. Apa aku terpuruk? Tidak juga, aku masih bisa memasak sarapanku sendiri, aku baik-baik saja. Apa aku menangis? Tidak Gwen, atau mungkin belum? Tidak tahu. Tapi itu sudah lama Gwen...  sudah dua bulan. Dan aku baik-baik saja. Banyak yang berubah, tentu saja. Tapi kami sudah memutuskannya... Kamu juga tidak perlu menghubungi Maria dan menanyakan hal-hal seperti ini. Maria juga baik-baik saja... tidak sedramatis itu... Kalau kenapa aku tak memberitahumu, karena, aku rasa...”
“bri.. bri... halo bri... kamu menangsi? Hah? Apa Bri?
“Aku tidak menangis. Gwen! Demi tuhan!” Brian berteriak.
“Bri. Aduh, maaf, sinyalnya jelek. Nah, nah... Bri... sudah jelas?”
“Gwen... telpon aku lima menit lagi. Aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Hah...”
Brian memutus sambungan teleponnya. Bangun. Melihat pintu kamar mandi yang tak seberapa jauh dari tempatnya kini berada. Tangan kanannya menopang berat badannya, Brian bangun. Telapak tangannya menutup mukanya. Tangannya yang dingin menemukan hangat yang menguap dari nafasnya. Sudah lama Brian tak bangun sepagi ini. Setengah enam, dan masih kurang beberapa menit lagi. Brian menyambar sekenanya handuk biru yang teronggok di atas tumpukan koran lawas. Menyenggol kaleng bir entah kapan. Sedikit terhuyung dan hampir menabrak pintu kamar mandi di depannya. Menyalakan kran keras-keras. Dari kamar mandi, terdengar suara nada panggil ponselnya.
Brian membasuh muka, dan mengelapnya dengan handuk di pundaknya. Ponselnya masih berdering. Gwen, adiknya itu. Entah kenapa, untuk kali ini, untuk kali ini saja, Brian ingin mengabaikannya. Sekali ini saja.

Gwen menelpon Brian sekitar sebelas kali. Tak satupun diangkat. Matahari mulai tinggi dan menyengat, meski masih sepagi ini. Entah sudah berapa belas nyamuk yang sudah mampir di betisnya yang tak terjangkau celana tidur tujuh per delapan polos berwarna hitam. Mungkin Brian masih belum bisa bercerita tentang perpisahannya dengan Maria.
Gwen mengirim pesan pendek. “Bri, i’m sorry to bother you this early. Let me know if you’re okay enough to talk to me. Ak baik2 aja. Udh g ada beruang di sini. Tp td ada babi lewat. Atau hubungi aku klo km udh mendingan. :)”
Brian membuka pesan Gwen. Membacanya sampai tanda titik dua dan kurung tutup andalannya itu. Brian bisa membayangkan Gwen yang tersenyum. Gwen memang selalu tersenyum seperti itu. Gwen selalu menutup kalimatnya dengan senyum lebar yang menarik cantik dua sudut mulutnya itu. Mengingat Gwen yang selalu berkata seakan tanpa dosa, seberapapun menyebalkannya dia, membuat Brian tersenyum. Brian merindukannya.
Brian hanya perlu memencet dua tombol ponselnya sebelum ponsel Gwen berbunyi.
“Bri...”
“Gwen. Kamu punya waktu berapa lama untuk mendengar aku bercerita?”
“All is yours, Bro! Aku hari ini libur.”
“Oke, cari tempat paling nyaman di pinggir hutan itu...”
“Oke, bentar Bri. Aku balik ke tempat tadi dulu. Hold, hold. Hallo Bri, jelas nggak suaraku Bri... jelas nggak?”
“Jelas...” Brian menjawab enteng. Terdengar suara tawa Gwen di sana. Sementara itu sudah cukup menghiburnya. Dan pucuk mata Brian menangkap dua kaleng bir sisa entah kapan. Dan beberapa kaleng bir yang menumpuk di tempat sampah dekat pintu menuju kamar mandi.
“Bri... Hai...”

Suara Gwen yang bercampur tawa itu membuatnya sadar sepenuhnya. Brian siap bercerita.